KAROINDO.com-Perkembangan penyebaran Virus Corona atau dikenal dengan COVID-19 dalam tiga bulan terakhir ini telah membawa perubahan yang begitu signifikan di banyak belahan bumi.. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai sebuah pandemic, wabah yang mendunia dan telah menimbulkan ketalutan di banyak negara di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah korban yang berjatuhan di seluruh dunia, bahkan Indonesia kini telah memasuki babak baru dalam menghadapi serangan wabah COVID-19 ini. Dalam beberapa waktu belakangan ini, kita menyaksinya derasnya arus informasi melalui social media kita yang disuguhkan dengan berbagai pendapat, pandangan dan ocehan tentang COVID-19 yang mematikan ini. Sikap mendadak rohani dan hidup penuh iman serta merasa paling benar dalam menghadapi wabah ini pun mulai disebarkan. Ujaran dan kutipan-kutipan ayat-ayat Alkitab pun terus memenuhi sosial media kita. Tanpa sadar kita menebar ayat-ayat hanya untuk terlihat lebih beriman, lebih paham dibandingkan dengan orang lain.Wabah COVID-19 pun menjadi dasar dan alasan merasa lebih hidup dalam iman kepada Allah, benarkah?
Teks renungan kita pada hari ini, adalah sebuah teguran yang disampaikan oleh Yakobus yang adalah saudara Tuhan Yesus (lih. Mat 13:55). Lebih jelas tentang Yakobus ini bisa kita lihat di Yoh.7:5; 1Kor.15:7; Gal.2:9; Kis.15:13. Yakobus ini adalah seorang yang bertobat setelah Yesus bangkit dari kematian dan sejak itu ia dikenal sebagai orang yang baik dan jujur. Lantas, apa yang dapat kita pelajari dari teks yang menjadi renungan dalam memasuki minggu-minggu sengsara ini? Minggu-minggu sengsara sebagai bagian dari perayaan Pra-Paskah yang kita jalani hari-hari ini terasa begitu lain bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kita benar-benar sedang berada dalam sebuah suasana yang membawa ketakutan tersendiri, kita menjalani minggu-minggu sengsara ini dengan banyak curiga bahkan mulai menyalahkan pihak-pihak yang dianggap kurang cepat tanggap ataupun menghakimi keputusan-keputusan yg diambil oleh pemerintah, gereja, maupun sesama kita.
Wabah COVID-19 ini telah membawa gereja (baca: kita) kedalam suasana yang sulit dalam memperlihatkan apa yang telah kita Imani, apa yang selama ini kita percayai. Apakah kita masih memiliki iman kepada Allah? Apakah iman kita masih bekerja dan tetap mempercayai Dia, sebagai Allah yang maha kuasa? Iman seperti apa yang harus kita saksikan dalam menghadapi penyebaran COVID-19 ini? Apakah Allah masih berkarya atas iman yang kita yakini dalam menghadapi situasi yang sepertinya sedang mengancam kehidupan kita dan orang-orang yang kita kasihi? Dimanakah imanmu?
Dalam renungan kita ini, Yakobus mengingatkan kita kembali akan hakekat iman kepada Allah, Tuhan yang kita percayai. Jika iman itu tidak disertai dengan perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (ay.17). Dapatkah dikatakan seorang beriman jika tidak terwujud dalam perbuatannya? Dapatkah iman yang tanpa perbuatan itu menyelamatkan dia? Iman itu akan berwujud nyata ketika ia disertai dengan perbuatan. Dengan kata lain, iman kita kepada Allah hanya akan tampak ketika kita aktif dalam perbuatan dan tindakan nyata sebagai sebuah perwujudan iman kita kepada-Nya. Lalu, bagaimana iman yang nyata itu harus terwujud dalam menyikapi terror yang disebarkan oleh wabah pandemic COVID-19 ini? Ketika himbauan untuk mengurangi pertemuan mulai diserukan dan tuntutan untuk mengurangi bahkan menghentikan ibadah-ibadah yang melibatkan banyak orang sudah mulai disampaikan dalam upaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19, apakah yang harus kita lakukan sebagai orang yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah yang berkuasa? Apakah kita harus mentaati anjuran tersebut atau mengabaikannya atas nama iman kita kepada Kristus?
Situasi yang semakin sulit akibat penyebaran COVID-19 membuat banyak gereja bahkan atas himbauan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta agar untuk sementara pelaksanaan ibadah-ibadah raya atau ibadah minggu dapat dihentikan, dan ibadah dilakukan bersama keluarga maka seharusnya anjuran itu dapat kita sikapi dengan iman yang kita hidupi dengan hikmat. Itu adalah bagian dari ajakan pemerintah kita untuk membantu memutus rantai penyebaran wabah ini. Tindakan gereja yang mendukung kebijakan pemerintah itu merupakan perwujudan dari iman yang disertai dengan perbuatan. Iman yang dilakoni dengan hikmat untuk mendatangkan kebaikan bagi banyak umat. Sikap kita seharusnya bukan malah mengkristisi dan mempertentangkan iman kita kepada Allah yang seakan-akan jika tidak menyelenggarakan ibadah dan pertemuan-pertemuan di tempat ibadah kita seperti biasanya maka kita tidak beriman kepadaNya.
Pencobaan yang kita hadapi melalui merebaknya COVID-19 ini adalah bagian dari proses perjalanan kehidupan kita bersama Allah. Kita imani bahwa Allah akan terus menuntun melalui kerja keras para ahli untuk menekan dan memusnahkan virus yang telah membawa penderitaan di banyak belahan bumi ini. Namun, iman itu harus terwujud dalam perbuatan yang penuh hikmat,bukan malah sebaliknya mencobai Tuhan Allah, atas nama iman kita kepada-Nya. Himbauan pemerintah kita bersama jajarannya serta ajakan dari para pimpinan gereja kita harusnya mampu kita sikapi dengan iman bahwa Allah turut bekerja melalui mereka untuk kebaikan-kebaikan kita selaku umat untuk situasi yang sedang kita hadapi ini. Karena ajaran hikmat yang dituliskan oleh kitab Amsal juga mengingatkan kita, bahwa kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka (lih. Amsal 22:3 ; 27:12).
Kasih dan iman kita kepada Allah juga harus diwujudkan dengan kepedulian terhadap sesama kita manusia. Melaksanakan anjuran untuk melakukan social distancing yang salah satunya adalah untuk sementara melakukan ibadah di rumah masing-masing merupakan tindakan yang nyata bahwa kita bukan hanya memikirkan keselamatan diri sendiri tetapi menjaga kehidupan dan keselamatan orang lain juga. Tindakan kasih kita kepada sesama yang bertujuan untuk saling menjaga tentu tidak bertentangan atau mengurangi iman kita kepada Allah. Kita harus mengingat bahwa Allah Sang Pencipta sangat mencintai dan menghargai setiap kehidupan. Dalam Lukas 13:10-17 Tuhan Yesus menyembuhkan wanita yang selama delapanbelas tahun dirasuk roh sampai bungkuk punggungnya pada hari Sabat. Hal ini mendapat pertentangan dari kepala Rumah Ibadat. Dalam kisah ini kita belajar bagaimana Tuhan sangat menghargai kehidupan lebih daripada ritual agama yang dibangun oleh manusia. Dia, Sang Guru Agung, berkali-kali mempertaruhkan segalanya demi kehidupan manusia. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat”, demikian ditegaskan-Nya kepada orang-orang bebal dan sok suci bak beriman, tapi melalaikan kehidupan.
Marilah kita bersama-sama sebagai orang yang beriman dengan tuntunan dan hikmat dari Roh Kudus menunjukkan perbuatan-perbuatan kita yang nyata untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah bersama pimpinan gereja kita, dalam kaitannya untuk memutus rantai penyebaran wabah COVID-19 ini. Hiduplah dalam iman yang membawa dan menuntun kita untuk berhikmat. Sebab itulah yang Allah inginkan dari kita orang-orang yang mempunyai iman kepada-Nya. TUHAN, Allah kiranya menolong bangsa kita melewati masa-masa sulit ini melalui kasih anugerah-Nya didalam Krisus!
Selamat berproses dalam iman kepada-Nya yang terwujud dalam semua tindakan dan perbuatan kita di minggu sengsara ini sebab itulah yang membawa kita kedalam kehidupan bersama Allah!
Oleh: Erdian Sembiring, M.Th